Balada Kecurangan Beras di Alam Kapitalisme

HomeNarasi Fokus

Balada Kecurangan Beras di Alam Kapitalisme

Dalam perspektif Islam, pangan merupakan kebutuhan pokok rakyat yang wajib menjadi tanggung jawab negara. Karenanya, demi terjaminnya semua urusan rakyat (pangan), negara hadir secara utuh dengan menempuh cara-cara strategis, seperti....

Kemerdekaan dan Paradoks Kesejahteraan Masyarakat Bekasi
Ketika Jabatan Menjadi Alat Menghisap Rakyat
Di Balik Angka, Ada Luka: Menelisik Akar Kasus Pelecehan Seksual dalam Bayang Gaya Hidup Liberal dan Kapitalisme

Oleh: Reni Rosmawati (Pegiat Literasi Islam Kafah)

POROSNARASI.COM – Beras merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Hampir seluruh masyarakat mengonsumsi nasi yang berbahan dasar beras. Karenanya, ketersediaan beras yang cukup serta berkualitas sangatlah penting. Namun, belakangan ini menyeruak kabar bahwa beras yang merupakan bahan pokok rakyat tersebut kualitasnya tidak sesuai standar mutu, dioplos, dan takarannya dikurangi oleh sejumlah perusahaan besar, hingga menyebabkan kerugian bagi negara.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, mengungkapkan telah menemukan 212 merek beras premium dari 268 merek yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku, baik mutu, volume, dan harganya. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan pada 13 laboratorium milik Bulog di 10 provinsi, ditemukan 85,56% beras premium yang kualitasnya tidak sesuai standar; 59,78% dijual di atas HET (Harga Eceran Tertinggi); dan 21% yang beratnya tidak sesuai. Akibat dari itu semua, negara mengalami kerugian hingga Rp99,35 triliun per tahun.

Menindaklanjuti hal ini, pemerintah (Kementan) bersama Satgas Pangan telah melaporkan ke Kapolri dan Jaksa Agung. Pemerintah berharap produsen nakal tersebut bisa segera diproses hukum agar jera. Sejumlah produsen beras oplosan yang telah dipanggil serta diperiksa adalah Wimar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group). Dari semuanya ditemukan 26 merek beras yang terindikasi oplosan, termasuk setra ramos dan setra pulen. (Kompas.com, 17/07/2025)

Kapitalisme Jadikan Regulasi tak Bergigi

Praktik oplosan pada sejumlah komoditas kebutuhan dasar rakyat di negeri ini bukanlah hal baru. Sebelumnya ada Minyakita yang dioplos dengan minyak curah, gula rafinasi andalan yang dioplos dengan gula rijekan pabrik, BBM jenis Pertamax dicampur BBM jenis premium, dan kini beras. Tentu, semuanya bertujuan untuk menekan biaya produksi dan meraih sebanyak-banyaknya keuntungan.

Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan regulasi untuk menanggulangi hal ini. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal-pasal ini melarang memproduksi ataupun memperdagangkan pangan yang tidak sesuai keamanan, mutu, gizi, dan membahayakan konsumen. Bagi yang melanggar, dikenakan sanksi mulai dari administratif berupa dicabut sementara izin usaha, serta ditariknya produk. Hingga sanksi pidana seperti dipenjara 5 tahun dan denda paling banyak 5 miliar.

Kenyataannya, hingga kini pelanggaran atas peraturan tersebut tetap saja ada, bahkan menyasar komoditas pangan lainnya bukan hanya beras. Ini menandakan bahwa regulasi pemerintah tak berpengaruh signifikan di hadapan para produsen besar. Seolah pemerintah itu adalah macan ompong yang tidak bisa membuat pengusaha gentar apalagi takut.

Untuk menyelesaikan polemik kecurangan pangan, pemerintah seharusnya tidak hanya mencukupkan diri dengan membuat regulasi, namun juga harus hadir memberikan pengawasan ketat berikut sanksi tegas terhadap pengusaha dan produsen. Hal ini harus dilakukan agar mereka tidak memiliki celah melakukan kecurangan dan tetap konsisten mempertahankan mutu, keamanan, dan takaran pangan yang diproduksinya.

Pemerintah pun harus membuat regulasi strategis untuk memajukan para petani lokal. Dimulai dari memberikan modal bertani, bibit unggul, juga pupuk; memanfaatkan teknologi canggih untuk pengairan agar kualitas panen bagus; serta menyiapkan mesin penggilingan padi sehingga para petani dapat memproduksi beras hasil pertaniannya sendiri. Kemudian pemerintah harus membuka jaringan pemasaran dalam hal pendistribusiannya. Dengan begitu, maka tidak perlu melibatkan perusahaan besar untuk memproduksi beras. Harga beras pun akan terjangkau, tidak semahal sekarang.

Sayangnya, pemerintah belum tergerak untuk melakukan itu semua. Malah yang ada subsidi pupuk pun dikurangi dengan alasan keterbatasan anggaran. Inilah ciri khasnya penguasa yang berpedoman pada sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme menjadikan negara tidak menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat, tapi pelayan korporat. Semua bisa dilihat dari pengelolaan hampir seluruh kebutuhan dasar rakyat yang dikuasakan kepada korporasi, sehingga dijadikan ladang bisnis basah mereka.

Islam Solusi Tuntas Atasi Kecurangan Pangan

Dalam perspektif Islam, pangan merupakan kebutuhan pokok rakyat yang wajib menjadi tanggung jawab negara. Karenanya, demi terjaminnya semua urusan rakyat (pangan), negara hadir secara utuh dengan menempuh cara-cara strategis, seperti:

Pertama, merevitalisasi sektor-sektor penghasil pangan agar kualitas dan kuantitas pangan meningkat. Ini akan ditempuh negara dengan cara memperluas lahan pertanian; memberikan modal, pupuk serta bibit unggul; mengembangkan kecanggihan teknologi untuk mendukung pertanian dan perikanan serta pengelolaannya; mendukung industri-industri lokal; serta menyiapkan tempat penyimpanannya.

Kedua, membuka jaringan pasar untuk pendistribusian pangan. Negara pun tidak akan mematok harga, semuanya akan diserahkan pada mekanisme pasar. Jika terjadi inflasi akibat paceklik dan bencana alam, negara akan memberi perintah kepada wilayah Islam lainnya yang surplus untuk mengirimkan pangan. Ini sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ketika Madinah dilanda paceklik, ia langsung mengambil kebijakan mengatur distribusi pangan dari wilayah Islam lainnya, lalu memastikan bantuan tersebut sampai kepada masyarakat.

Ketiga, bertindak tegas terhadap produsen nakal. Dalam hal ini negara akan menunjuk hakim (Qadi Hisbah) untuk mengawasi dan memeriksa pasar serta industri-industri pangan yang sedang beroperasi. Jika terdeteksi ada kecurangan seperti pengoplosan, pengurangan takaran juga kualitas, hingga penimbunan akan langsung dikenakan sanksi ta’zir yang kadarnya ditetapkan oleh khalifah. Tentunya sanksi ini bersifat menjerakan dan mencegah orang lain berbuat serupa.

Keempat, mengambil tanah yang ditelantarkan 3 tahun berturut-turut dan tidak dikelola oleh pemiliknya, lalu diberikan kepada yang bisa menghidupkannya. Dengan demikian maka semua warga akan memiliki akses untuk menciptakan ketahanan pangan. Salah satunya dengan produk andalan yang dikembangkan berdasarkan potensi tanah yang dikelola. Baik pertanian, perdagangan maupun industri.

Semua mekanisme tersebut bukan hanya untaian kata semata, namun pernah terealisasi dan ditempuh negara Islam selama hampir 14 abad. Kala itu, negara Islam benar-benar mencapai puncak kemakmuran dan kesejahteraan yang luar biasa. Realita ini tergambar nyata di era kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz meski masa jabatannya terbilang cukup singkat, sekitar 3 tahun. Umar mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai metode periayahan seperti: menjamin pendistribusian kekayaan negara secara merata, termasuk pengembalian harta pejabat yang tidak wajar kepada Baitulmal; meningkatkan sektor pertanian dan membebaskan tanah yang tidak produktif; menghapus pajak; memberikan jaminan sosial termasuk menyantuni anak yatim-piatu, janda, dan fakir miskin; serta memberikan keadilan bagi semua warganya tanpa kecuali.

Dengan kebijak-kebijakan tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mampu membawa Dinasti Umayyah kepada puncak kejayaan dan kesejahteraan, sehingga tak ada lagi rakyat yang mau menerima zakat. Inilah bukti dari sabda Rasulullah saw.: “Pemimpin adalah raa’in (pengurus) rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Illustration by Google

__________________

Disclaimer: POROSNARASI.COM adalah wadah untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua penulis bertanggung jawab penuh atas isi dari tulisan yang dibuat dan dipublished di POROSNARASI.COM. Penulis dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum Syara’ dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: