Darurat Filisida Maternal: Tragedi Sosial di Kehidupan Sekuler Liberal

HomeNarasi Fokus

Darurat Filisida Maternal: Tragedi Sosial di Kehidupan Sekuler Liberal

Realitas masyarakat yang demikian ini tentu sangat kondusif untuk mencegah terjadinya filisida maternal. Dengan demikian, sistem Islam tidak hanya menjadi solusi spiritual, melainkan juga kerangka institusional yang mencegah akumulasi tekanan sosial penyebab filisida maternal.

Sekularisme Menjadikan Sosok Ayah Berhati Iblis
Di Balik Angka, Ada Luka: Menelisik Akar Kasus Pelecehan Seksual dalam Bayang Gaya Hidup Liberal dan Kapitalisme
Raya dan Potret Buram Kapitalisme: Saat Kesehatan Disulap Jadi Komoditas

Oleh: Ummu Zhafira

POROSNARASI.COM – Filisida maternal menjadi salah satu istilah yang muncul dan jadi perbincangan belakangan ini. Bagaimana tidak, banyak ibu yang seharusnya menjadi pelindung bagi buah hatinya malah tega mengakhiri hidup mereka dengan tindakan keji. Berbagai macam tekanan hidup mematikan nalar sehat ibu hingga tak menyadari mana jalan kebaikan dan keburukan. Tak lagi ada pelindung bagi kaum ibu hari ini. Mereka sendiri, menanggung beban di luar yang bisa disanggupi. Tragedi ini menunjukkan bahwa krisis sosial modern telah menembus ruang paling sakral: hubungan ibu dan anak.

Kasus terbaru yang sangat mengejutkan datang dari seorang ibu malang berinisial EN (34) di Bandung, Jawa Barat. Ibu tersebut ditemukan tak bernyawa pada Jum’at (5/9) di rumah kontrakan usai diduga meracuni dua buah hatinya yang masih berusia 9 tahun dan 11 bulan. Tekanan ekonomi dan utang keluarga diduga mendorong pelaku melakukan tindakan fatal. Hal ini terungkap dari surat wasiat yang ditinggalkan. (Detik News, 2025)

Mirisnya kasus serupa juga terjadi di Papua pada (23/8) lalu. Ibu berinisial SH tega membunuh anaknya yang masih berusia 5 bulan lantaran kecewa pada suami yang tak memberinya nafkah (Kompas, 2025). Begitu pun pada (30/7) lalu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dua anak kakak beradik perempuan, berusia 6 dan 3 tahun didapati tak bernyawa di Pantai Sigandu. Sementara ibunya dengan inisial VM (31) ditemukan dalam keadaan linglung dan bersembunyi tidak jauh dari lokasi kejadian. Diketahui bahwa VM sengaja membawa kedua buah hatinya ke tengah laut hingga mereka tenggelam. (Antara, 2025)

Darurat Filisida Maternal

Secara etimologi, filisida maternal berasal dari bahasa latin. Filius artinya anak (laki-laki), filia artinya anak (perempuan). Sedangkan -cide berasal dari kata caedere yang berarti memotong, membunuh. Jadi filicide atau filisida di sini dapat diartikan sebagai pembunuhan terhadap anak oleh orang tuanya sendiri. Maternal sendiri dapat diartikan yang berkaitan dengan ibu karena berasal dari kata mater yang artinya ibu. Dengan demikian filisida maternal adalah pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandung.

Kasus-kasus yang disebutkan di atas merupakan sebagian kecil dari maraknya kasus filisida maternal yang terjadi di Indonesia. Diyah Puspitarini selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa Indonesia darurat filisida. Setidaknya tercatat 60-an kasus anak menjadi korban filisida sepanjang 2024 dengan rata-rata kasus sebanyak 5 sampai 6 setiap bulannya (SindoNews, 2025). Bahkan KPAI juga menyampaikan, mayoritas pelaku dari kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tua adalah ibu kandung korban.

Hal ini juga senada dengan adanya tren yang cukup mengkhawatirkan untuk kasus tersebut selama periode 2019-2025. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai laporan media nasional, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan adanya peningkatan kasus yang signifikan dari tahun ke tahun. Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara maju. WHO dan UNICEF bahkan menegaskan bahwa filisida bukan semata tindak kriminal, melainkan tragedi sosial yang menuntut perhatian multidisipliner

Targedi Sosial Akibat Akumulasi Tekanan Struktural

Pribudiarta Nur Sitepu selaku Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA, memberikan pernyataan bahwa persoalan filisida banyak dipicu oleh berbagai problem yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Psikolog Klinis Forensik Universitas Indonesia (UI), A. Kasandra Putranto dari perspektif psikologi forensik. Ia menegaskan bahwa kasus bunuh diri dan filisida maternal di negeri ini tidak bisa dilihat sebagai tindak kriminal semata melainkan fenomena yang bersifat multidimensional, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni: psikologis, sosial-ekonomi, juga rendahnya dukungan kesehatan mental. (MetroTV, 2015)

Segaris dengan itu, dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Faktor‐Faktor Kriminogenik Kasus Filisida di Indonesia dalam Perspektif Strain Theory”, Yedija Otniel Purba (2025) juga menyimpulkan bahwa kasus filisida di Indonesia ini merupakan fenomena kompleks yang lahir dari interaksi berlapis antara faktor ekonomi, psikologis, sosial, kultural, dan struktural dalam keluarga dan masyarakat. Dia juga menyebut bahwa tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling dominan dalam hal ini.

Dalam teori Strain (Tekanan) yang dikemukakan oleh Robert K. Merton (1938), menyatakan bahwa tindakan kriminal sering kali terjadi saat individu mengalami ketegangan akibat adanya ketidaksesuaian antara tujuan-tujuan budaya yang diharapkan (seperti kesejahteraan atau peran ideal sebagai orang tua) dengan ketersediaan sarana sah untuk mencapainya. Untuk kasus di Indonesia, secara sosial dan ekonomi, banyak pelaku dari kalangan menengah ke bawah, dengan pekerjaan tidak tetap atau menganggur, juga rendahnya akses kesehatan mental dan perlindungan sosial.

Dari 33 kasus selama periode enam tahun terakhir yang dianalisis oleh Purba (2025), secara eksplisit menunjukkan bahwa faktor tekanan ekonomi mendominasi. Kemiskinan, pengangguran atau ketidakmampuan memberi nafkah menjadi alasan pelaku. Hal ini sebagaimana kasus yang terjadi di Bandung dan Papua belum lama ini. Sedang kasus di Brebes (2022) juga mengindikasikan adanya tekanan ekonomi tak tertahankan sehingga sang ibu berusaha membebaskan anak-anaknya dari penderitaan hidup.

Selain ekonomi, tekanan psikologis juga memainkan peran signifikan. Beberapa pelaku juga mengindikasikan adanya tekanan akibat gangguan mental berat seperti depresi mayor, delusi, hingga depresi postpartum. Salah satunya adalah kasus ibu di Kediri yang tega membunuh anaknya karena mengalami gangguan depresi berat dan tidak pernah mendapatkan penanganan medis. Sedangkan dalam beberapa kasus juga memperlihatkan adanya rasa malu, tekanan sosial, dan kehormatan keluarga menjadi alasan kuat pelaku melakukan tindakan ekstrem. Sebagaimana kasus ibu dan ayah bunuh anak di Bekasi akibat jengkel setelah ada teguran gara-gara anaknya muntah.

Selain itu, tekanan ini juga muncul dari ketimpangan dalam struktur keluarga. Ketidakharmonisan keluarga sering kali juga menjadi pemicu orang tua khususnya ibu melampiaskan kekecewaannya pada sang anak. Contohnya adalah kasus remaja yang meninggal usai dianiaya oleh ibu, paman dan kakeknya. Diketahui korban berasal dari keluarga broken home. Ada juga tindakan impulsif yang dilakukan saat kehilangan kontrol emosional juga tercermin sebagai tekanan akut. Misalnya ini terjadi pada kasus ibu bunuh anak karena anak rewel atau nangis terus-menerus.

Sedihnya, perempuan ditemukan lebih sering mengalami tekanan internal seperti depresi, keputusasaan, dan perasaan tidak mampu. Makanya tidak mengherankan kalau motif filisida oleh ibu sering kali diklasifikasikan sebagai altruistic atau psychotic filicide yakni yang berkaitan dengan kondisi mental atau tekanan emosional yang mendalam. Namun yang perlu diingat bahwa filisida tidak selalu terjadi dalam gangguan jiwa berat. Gejala psikosis dan delusi tidak selalu ditemukan dalam sebagian besar kasus, melainkan adanya stres yang berulang akibat tekanan hidup sehari-hari.
Derita Ibu dalam Kungkungan Kehidupan Sekuler Liberal
Jika seluruh tekanan yang telah disebutkan tadi kita tarik ke akar sistemiknya, akan tampak bahwa persoalan ini tidak berdiri sendiri, melainkan tumbuh dari paradigma sekuler-liberal. Penderitaan massal yang menimpa kaum ibu bukan sekadar masalah psikologis individu, melainkan manifestasi dari kegagalan sistem baik ekonomi, politik, pendidikan dan sosial yang memisahkan peran agama dari kehidupan.

Dalam sistem sekuler-liberal, peran masyarakat, termasuk perempuan dan ibu, ditentukan oleh nilai-nilai material yakni kemampuan untuk menghasilkan uang, mengejar standar hidup kapitalistik, dan menanggung beban ekonomi keluarga. Akibatnya, fungsi keibuan dan perlindungan terhadap anak — yang semestinya dijamin oleh masyarakat dan negara — menjadi beban personal, bukan tanggung jawab sosial. Syaikh Taqiyuddin An-nabhani menyebut, ketika syariat Islam tidak diterapkan secara total, maka “masyarakat akan kehilangan makna ketenangan (ithmi’nan), karena aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, keluarganya, dan Tuhannya telah tercerabut.” (Mafahim Islamiyyah, hlm. 59)
Inilah yang tampak dalam fenomena filisida maternal. Tekanan ekonomi lahir dari sistem kapitalis yang menjadikan kesejahteraan bergantung pada daya beli individu, bukan jaminan negara. Negara membiarkan masyarakat menanggung beban kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) seorang diri. Masyarakat harus menghadapi harga kebutuhan melambung tinggi, beban pajak semakin mencekik, hantaman PHK yang membuat keluarga mudah terjerat utang, stres kronis, dan rasa putus asa. Di sisi lain sumber daya alam justru diserahkan kepemilikannya pada oligarki atas nama liberalisme.

Tekanan psikologis muncul karena hilangnya nilai keimanan sebagai sandaran maknawi dalam menghadapi ujian hidup. Suasana sekularisasi menjadikan ibu gagal memahami makna kebahagiaan dan tujuan hakiki kehidupan. Ketika tak memiliki sandaran akhirnya berbagai macam tekanan kehidupan terakumulasi menjadi tekanan akut yang menjadikan ibu kehilangan kontrol diri, yang akhirnya mendorongnya untuk melakukan tindak-tindakan keji.
Ketimpangan keluarga terjadi karena sistem sosial sekuler menjadikan perempuan harus berperan ganda yakni mencari nafkah, mengurus rumah dan mengasuh anak. Hal inilah yang akhirnya menjadikan ibu lelah. Sudah begitu dengan struktur ekonomi yang mendorong adanya kompetisi, individualisme, dan komersialisasi relasi sosial maka jaringan sosial yang seharusnya menahan warganya ini, melemah — sehingga orang yang “jatuh” tidak mendapatkan sandaran komunitas.

Di dalam masyarakat sekuler, agama dikurung hanya pada ranah kehidupan privat (ibadah ritual), bukan pedoman pengaturan sosial. Akibatnya adalah nilai ta‘awun (tolong-menolong) dan perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai wujud amar makruf nahi mungkr di tengah masyarakat melemah atau tak efektif bahkan tidak ada. Yang ada justru masyarakat sekitar yang individualis dan hedonis. Mereka sibuk hanya berpikir tentang urusan mereka sendiri tanpa peduli pada persoalan orang lain. Bahkan banyak ditemukan perbincangan yang saling menyakiti.

Ditambah lagi adanya pinjol atau praktik rentenir yang menggurita. Hal ini merupakan contoh bagaimana mekanisme keuangan sekuler kapitalis yang eksploitatif. Perilaku perebutan keuntungan lewat bunga dan penagihan agresif adalah bentuk kezaliman ekonomi. Data kasus-kasus yang mengaitkan pinjol dengan tragedi filisida memperlihatkan perlunya kebijakan tegas dan solusi alternatif pembiayaan (non-riba) yang tentu saja tidak akan pernah kita temukan pada praktik sistem ekonomi kapitalisme sekuler.

Diperparah lagi kondisi ini dengan minimnya akses terhadap layanan kesehatan, keamanan dan pendidikan. Semua kebutuhan tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab negara, hari ini semua dibebankan di pundak keluarga. Komersialisasi pada layanan umum tersebut menjadikan masyarakat harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan yang memadai.

Kesenjangan besar dalam rasio tenaga kesehatan jiwa menandakan tidak adanya jaringan formal yang memadai untuk deteksi dini dan penanganan krisis mental, sehingga indikasi-indikasi putus asa tak tertangani hingga menyebabkan tindakan fatal di tengah masyarakat. Sudah begitu masyarakat juga tak teredukasi mengenai hal ini, sehingga juga sering kali mereka tak menyadari ada keluarga atau tetangga yang sedang mengalami persoalan kesehatan mental akut.

Oleh karena itu solusi untuk mengatasi persoalan ini bukanlah sekadar dengan program bantuan parsial sebagaimana bansos, pendampingan keluarga pasca kejadian, penegakkan hukum, dan layanan konseling yang terbatas melainkan mengubah struktur bernegara yang menjamin perlindungan keluarga. Sekularisme kapitalis liberal telah membuktikan kegagalannya dalam menjamin kebahagiaan dan ketenangan ibu. Sistem ini memunculkan berbagai macam tekanan mematikan hingga mati pula naluri yang dimiliki ibu. Maka harus ada upaya untuk beralih pada sistem alternatif mumpuni yang mampu memuliakan, melindungi kaum ibu hingga mereka mampu menjalankan peran dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayang.

Islam Memuliakan, Memberikan Ketenangan dan Melindungi Fitrah Ibu

Islam adalah rahmat. Dia agama sempurna dan paripurna yang Allah turunkan kepada baginda nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan Allah Swt. dan dengan sesamanya. Untuk itulah Islam memiliki konsep yang agung bagaimana menjaga dan mengatur dari berbagai sisi baik mental, politik, dan sosial-ekonomi. Tak hanya mengurus urusan ibadah ritual tapi juga mengatur persoalan struktural yang menjamin kemuliaan dan menjaga fitrah ibu beserta generasi.

Islam sebagai ideologi telah menetapkan bahwa negara Khilafah adalah penanggung jawab riayah asy-syu’un al-ummah (pemeliharaan urusan rakyat). Negara wajib melindungi dan menjamin kehidupan warganya, termasuk perihal kebahagiaan mereka. Kebahagiaan itu muncul ketika mereka benar-benar paham hakikat hidup adalah untuk mencari rida Allah dan mengikatkan seluruh aktivitas dengan syariah menjadi konsekuensinya. Untuk itu, Khilafah akan menjaga kebahagiaan warga dengan menjaga suasana keimanan mereka dengan pembinaan dan pendidikan baik formal maupun informal dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Ini adalah konsep perlindungan mental terbaik bagi seorang individu muslim.

Dalam Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, Syaikh An-Nabhani menjelaskan bahwa Islam tidak menuntut perempuan untuk bekerja, bahkan memuliakannya sebagai pihak yang wajib dilindungi. Mereka memiliki peran strategis sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan pendidik utama bagi anak-anaknya bukan pencari nafkah. Kewajiban nafkah sepenuhnya berada pada suami, ayah, atau wali laki-laki terdekat. Sebagaimana Allah Swt. berfirman “Allah telah menjadikan nafkah perempuan sebagai tanggung jawab kaum laki-laki, karena laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan.” (QS. An-Nisa: 34)

Islam telah mengatur bahwa yang disebut keluarga adalah keluarga dekat (inti) maupun keluarga jauh (keluarga besar). Semua pihak, baik dalam keluarga inti maupun keluarga besar, berperan untuk saling menciptakan suasana dan lingkungan interaksi yang kondusif sehingga akan muncul peran strategis keluarga untuk menjadi support system terbaik dan terdepan bagi kehidupan ibu dan anak. Negara Islam juga tidak akan membiarkan satu pun perempuan menanggung hidup sendiri. Jika tidak ada suami atau keluarga, Baitul Mal wajib menanggung kebutuhannya.

Sementara itu, di dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang mampu menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Fokus sistem ekonomi Islam terpusat pada distribusi kekayaan, bukan produksi atau akumulasi kekayaan. Tujuannya tidak untuk menciptakan kekayaan kolektif berbasis pertumbuhan ekonomi, melainkan berfokus untuk mendistribusikan kekayaan kepada seluruh rakyat individu per individu secara adil.

Negara berkewajiban untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat berupa sandang, pangan, dan papan dalam kondisi cukup dan makruf. Negara akan memastikan harta dikembalikan sesuai status kepemilikan berdasarkan syara’. Sumber daya alam sebagai salah satu sumber pendapatan yang besar akan dilarang untuk dikuasai oleh pemilik modal. Sebagai kepemilikan umum, berbagai macam sumber daya alam itu akan dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat. Ditambah lagi negara akan memberikan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.

Islam juga melarang keras praktik ribawi. “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Berbagai macam jenis pinjol dan rentenir merupakan bentuk riba modern. Khilafah akan melarang adanya lembaga keuangan ribawi. Dana publik akan dikelola oleh negara di Baitul mal berdasarkan hukum syara’ bukan berdasarkan mekanisme utang berbunga.

Sedangkan masyarakat Islam menyadari akan pentingnya aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagai wujud kasih sayang di antara sesama muslim. Masyarakat Islam adalah masyarakat tingkat kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan atau sesama. Mereka saling mengetahui kondisi tetangganya bukan untuk bahan ghibah melainkan karena sadar bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga.

Realitas masyarakat yang demikian ini tentu sangat kondusif untuk mencegah terjadinya filisida maternal. Dengan demikian, sistem Islam tidak hanya menjadi solusi spiritual, melainkan juga kerangka institusional yang mencegah akumulasi tekanan sosial penyebab filisida maternal.

Khatimah

Filisida maternal adalah buah pahit dari sistem sekuler-liberal yang gagal menjaga harkat manusia dan struktur keluarga. Tekanan ekonomi, mental, dan sosial hanyalah manifestasi dari ideologi yang menyingkirkan hukum Allah dari kehidupan. Oleh karena itu solusi untuk mengatasi persoalan ini bukanlah sekadar dengan memunculkan program bantuan parsial sebagaimana bansos, pendampingan keluarga pasca kejadian, penegakkan hukum, dan layanan konseling yang terbatas.

Harus ada upaya serius, terukur dan terstruktur untuk mengembalikan penerapan syariat secara kaffah dalam naungan Khilafah. Karena hanya dengan itulah negara mampu memberikan jaminan kebutuhan ekonomi rakyat, menguatkan peran keluarga dan jaminan sosial untuk perempuan, menumbuhkan kesadaran ruhiyah agar setiap individu mampu menghadapi ujian hidup dengan sabar dan iman.
Sungguh hanya sistem Islamlah yang memuliakan ibu, memberikannya ketenangan dengan berbagai payung perlindungan berlapis dari keluarga, masyarakat hingga negara. Dengan begitu ibu akan bahagia menjalankan perannya. Fitrahnya terjaga sehingga generasi yang dididik dan dilahirkannya kelak tidak akan mati sia-sia, justru akan menjadi generasi tangguh, mencintai syahid sebagai tujuan dan cita-cita agungnya demi membebaskan Baitul Maqdis dan Roma yang telah Allah janjikan.[]

Illustration by Google

__________________

Disclaimer: POROSNARASI.COM adalah wadah untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua penulis bertanggung jawab penuh atas isi dari tulisan yang dibuat dan dipublished di POROSNARASI.COM. Penulis dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum Syara’ dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0