Raya dan Potret Buram Kapitalisme: Saat Kesehatan Disulap Jadi Komoditas

HomePoros Opini

Raya dan Potret Buram Kapitalisme: Saat Kesehatan Disulap Jadi Komoditas

Kasus “Bocah Cacing” bukanlah peristiwa tunggal. Sebelumnya pun, banyak anak-anak bangsa menjadi korban dari sistem kesehatan yang diperlakukan sebagai lahan bisnis. Raya hanyalah satu potret pahit. Bocah polos yang semestinya menikmati masa kanak-kanak, justru harus menanggung derita hingga akhir hayat. Padahal negara seharusnya hadir sejak awal. Tetapi tabiat kapitalisme tak pernah berubah: yang kaya mampu membeli kesembuhan, sedangkan yang miskin dibiarkan bergantung pada belas kasihan. Raya hanyalah satu nama, mewakili jutaan rakyat kecil yang menjadi korban kezaliman sistem hari ini.

Di Balik Angka, Ada Luka: Menelisik Akar Kasus Pelecehan Seksual dalam Bayang Gaya Hidup Liberal dan Kapitalisme
Darurat Filisida Maternal: Tragedi Sosial di Kehidupan Sekuler Liberal
Sekularisme Menjadikan Sosok Ayah Berhati Iblis

Oleh: Anita Humayroh (Pegiat Literasi)

POROSNARASI.COM-Hari ini, kita sedang berpijak di atas peradaban yang rapuh, yakni di bawah kendali sistem kapitalisme. Kerangka berpikir sistem ini sangatlah dangkal dan menjijikan. Kehidupan manusia tak lagi dipandang dari sisi kemanusiaan, melainkan dari nilai materi. Seorang anak, ibu, bahkan seorang ayah diukur bukan dari martabatnya sebagai manusia, tetapi dari seberapa besar ia mampu membayar. Semua hal diperdagangkan: pendidikan, rasa aman, hingga kesehatan yang sejatinya merupakan kebutuhan dasar, kini hanya bisa diakses jika ada uang di genggaman.

Kapitalisme telah mengangkat materi dan keuntungan sebagai sesembahan baru. Rumah sakit kini disulap menjadi perusahaan, tak lagi identik dengan ruang penyembuhan, melainkan berubah menjadi tempat yang menghitung untung-rugi. Obat-obatan tak lagi dipandang sebagai penawar derita, tapi menjadi komoditas mahal yang dikuasai industri farmasi raksasa. Para tenaga medis pun dipaksa tunduk pada target laba, sementara rakyat miskin hanya bisa menerima kenyataan pahit: bila tak mampu membayar, berarti harus siap kehilangan kesempatan hidup lebih cepat. Beginilah wajah asli kapitalisme—dingin, bengis, dan tanpa nurani.

Kisah Raya, balita dari Kabupaten Sukabumi, menjadi bukti nyata. Setelah sembilan hari menjalani perawatan dengan kondisi mengenaskan, anak berusia tiga tahun itu menghembuskan napas terakhirnya. Seluruh tubuhnya dipenuhi cacing gelang yang sudah menjalar hingga paru-paru dan otaknya (detik.com,25082025). Tragedi ini mengguncang nurani publik. Masyarakat menilai bahwa peristiwa tragis ini bukan sekadar soal gizi buruk atau kelalaian keluarga, melainkan akibat dari rantai kebobrokan sistem yang terbukti ugal-ugalan dalam kepengurusan rakyat dalam bidang kesehatan. Para wakil rakyat kita gagal memberikan jaminan layanan kesehatan bagi rakyatnya. Terutama rakyat kecil.

Kasus “Bocah Cacing” bukanlah peristiwa tunggal. Sebelumnya pun, banyak anak-anak bangsa menjadi korban dari sistem kesehatan yang diperlakukan sebagai lahan bisnis. Raya hanyalah satu potret pahit. Bocah polos yang semestinya menikmati masa kanak-kanak, justru harus menanggung derita hingga akhir hayat. Padahal negara seharusnya hadir sejak awal. Tetapi tabiat kapitalisme tak pernah berubah: yang kaya mampu membeli kesembuhan, sedangkan yang miskin dibiarkan bergantung pada belas kasihan. Raya hanyalah satu nama, mewakili jutaan rakyat kecil yang menjadi korban kezaliman sistem hari ini.

Kapitalisme yang dijadikan dasar pengaturan hidup masyarakat telah gagal total. Ia melahirkan ketimpangan, mengabaikan keadilan, memprivatisasi hak-hak mendasar, hingga mereduksi nyawa manusia menjadi sekadar angka keuntungan.

Islam Menjawab dengan Keadilan

Berbeda dengan kapitalisme, Islam hadir dengan paradigma yang menempatkan kesehatan sebagai hak yang wajib ditanggung negara. Islam menegaskan bahwa pelayanan kesehatan berlaku untuk semua, tanpa memandang status sosial, agama, maupun kekayaan. Tidak ada diskriminasi, tidak ada sekat kelas, tidak ada pungutan biaya. Islam membangun sistem kesehatan yang gratis, merata, dan berkualitas tinggi.

Khalifah bukanlah CEO negara yang mencari laba, melainkan pengurus umat. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipeliharanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu, mustahil bagi negara dalam sistem Islam menelantarkan seorang pun dari warganya.

Sejarah mencatat, pelayanan kesehatan dalam peradaban Islam berdiri di garis terdepan:

  1. Rumah sakit Baghdad pada masa Harun ar-Rasyid bukan hanya pusat pengobatan gratis, tetapi juga menjadi tempat riset kedokteran yang melahirkan ilmuwan ternama.
  2. Rumah sakit Cordoba di Andalusia melayani pasien siang dan malam, menyediakan rawat inap gratis, bahkan memberi bantuan finansial kepada pasien miskin setelah mereka sembuh.

Dalam sistem kekhilafahan, negara menempatkan kesehatan rakyat sebagai kewajiban, bukan pilihan. Layanan medis disediakan hingga pelosok tanpa adanya pembagian kelas ala kapitalis—tak ada istilah “VIP” dan “ekonomi.” Inilah wujud nyata sistem Islam yang paripurna, yang menjadikan kesehatan rakyat sebagai prioritas utama.

Jalan Pulang Umat

Raya hanyalah satu nama dari jutaan korban kapitalisme. Selama keuntungan menjadi tolok ukur, tragedi serupa akan terus berulang. Jalan keluarnya bukan dengan subsidi tambal sulam atau program amal, melainkan perubahan mendasar, yaitu mengganti sistem kapitalisme yang cacat dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh.

Hanya dalam naungan Islam, kesehatan ditempatkan begitu penuh kemuliaan sesuai dengan hakikatnya: sebagai hak setiap manusia, dijamin penuh oleh institusi negara, dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab sebagai kewajiban seorang pemimpin, menjadi Junnah bagi rakyatnya. Hanya dengan sistem Islam saja, tak akan ada lagi kisah tragis “Bocah Cacing” yang menyayat hati. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Illustration by Google

__________________

Disclaimer: POROSNARASI.COM adalah wadah untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua penulis bertanggung jawab penuh atas isi dari tulisan yang dibuat dan dipublished di POROSNARASI.COM. Penulis dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum Syara’ dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0