Kemerdekaan dan Paradoks Kesejahteraan Masyarakat Bekasi

HomeNarasi Fokus

Kemerdekaan dan Paradoks Kesejahteraan Masyarakat Bekasi

Inilah paradoks kesejahteraan yang diimpikan masyarakat Bekasi. Kota modern yang menjadi tujuan kaum urban untuk menggantungkan harapan nyatanya hanya menyisakan luka. Dua dunia yang berbeda tinggal berdampingan secara spasial, tetapi kondisinya bak langit dan bumi. Sejahtera hanya bisa dimiliki oleh mereka, kaum yang berpunya, sedangkan sisanya harus hidup terpinggirkan dengan kondisi yang semakin memprihatinkan.

Bekasi Lumpuh akibat Bencana Ekologis: Butuh Solusi Sistemis
Mengkritisi Anjloknya Nilai IKT Kota Bekasi
Solusi Bencana Ekologis

Oleh: Ummu Zhafira (Ibu Pembelajar)

POROSNARASI.COM – Dalam kesempatan memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-80 pada Minggu (17/8) lalu, Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, memberikan penegasan bahwa kemerdekaan sejati bukanlah sebatas seremoni. Baginya, kemerdekaan adalah ketika masyarakat benar-benar terlepas dari berbagai persoalan sosial yang membelenggu, seperti kemiskinan, pengangguran, banjir, dan persoalan lingkungan. (gobekasi.id, 17/08/2025)

Sejalan dengan hal tersebut, Kota Bekasi dinilai cukup berhasil mengentaskan kemiskinan. Belum lama ini, Badan Pusat Statistik merilis data daerah dengan tingkat kemiskinan rendah di Jawa Barat. Kota Bekasi berhasil mempertahankan posisinya sebagai peringkat ketiga dengan persentase penduduk miskin sebesar 4,01% (128.240 jiwa). Berturut-turut di atas Bekasi ada Kota Bandung dan Kota Depok di peringkat dua dan tiga. (bekasisatu.com, 24/07/2025)

Hasil Kerja Berbagai Program

Setidaknya ada beberapa program utama yang dijalankan oleh Pemkot Bekasi sehingga mampu secara efektif menekan angka kemiskinan. Di antaranya adalah dengan menjalankan berbagai program, seperti bantuan tepat sasaran, pendidikan sebagai investasi jangka panjang, pendekatan terpadu, dan juga melakukan inovasi-inovasi lainnya agar Bekasi bebas dari kemiskinan.

Pada program bansos terpadu, mereka melakukan penyaluran BLT sebesar Rp250 ribu/keluarga. Hal ini dilakukan berdasarkan data yang sudah diverifikasi secara ketat sehingga bantuan dipastikan tepat sasaran. Selain itu, juga ada program Bekasi Sejahtera yang menyasar kelompok rentan, semisal lansia, anak-anak dari keluarga tak mampu, dan penyandang disabilitas.

Di bidang pendidikan, ada program Sekolah Rakyat. Pada program ini, anak-anak dari keluarga prasejahtera akan diberikan beasiswa dan subsidi pendidikan. Setidaknya per Juli lalu sudah tercatat ada 180 siswa yang terdaftar dalam program. Sekitar 75% atau 136 siswa berasal dari Kota Bekasi. Melalui akses pendidikan minimal 12 tahun ini, diharapkan mampu menjadi media penting untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi.

Selain itu, Pemkot juga melakukan berbagai macam pendekatan terpadu dan memunculkan inovasi lain. Mereka berkolaborasi dengan pihak swasta melalui program CSR dan pelatihan kerja yang dilakukan di berbagai kecamatan untuk menguatkan kemampuan ekonomi masyarakat secara mandiri. Ada juga program digitalisasi sosial. Hal ini ditujukan agar efisiensi distribusi bantuan terlaksana.

Potret Bekasi dalam Realita

Meski secara persentase jumlah penduduk miskin menurun, kalau kita lihat data Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) justru meningkat. P1 per Maret 2024 naik 0,17 poin menjadi 0,80 dibanding Maret 2023 yang hanya sebesar 0,63 poin. Begitu pun P2 naik 0,08 poin dari 0,13 poin pada tahun sebelumnya sehingga menjadi sebesar 0,21. Hal ini justru menjadi pertanda meskipun jumlah masyarakat miskin turun, orang-orang yang miskin ini semakin parah keadaannya.

Sudahlah begitu, Kota Bekasi masih dalam kepungan kawasan kumuh dengan berbagai level dan luas wilayah yang tak sedikit jumlahnya. Berdasarkan data dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (Disperkimtan) Kota Bekasi, setidaknya masih ada 365,07 ha per 2021. Disimpulkan ada tren penurunan dari 433 ha (2016) menjadi 314,41 ha (2023). Angka 300 ha lebih ini bukan angka yang kecil bagi kota dengan penduduk yang padat.

Belum lagi persoalan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) yang juga masih menjadi PR. Setidaknya berdasarkan data Disperkimtan ada sebanyak 4.417 unit yang harus dibenahi dalam jangka waktu 2016–2026. Untuk tahun 2025 ini diprogramkan sejumlah 120 unit rumah dengan total bantuan sekitar Rp20 juta/rumah. Dilihat dari backlog historis, skala bantuan tahunan tersebut masih jauh dari harapan yang sudah ditargetkan.

Belum lagi persoalan pendidikan. Berdasarkan data Kemendikbudristek untuk tahun ajaran 2023/2024, terdapat 260 anak putus sekolah di Kota Bekasi yang tersebar di berbagai jenjang. Masih juga terdapat persoalan kemiskinan ekstrem. Meski secara resmi datanya belum dirilis, kalau berkaca pada data di Kabupaten Bekasi sebagai bagian wilayah aglomerasi maka Kota Bekasi tidak jauh berbeda kondisinya. Di wilayah tersebut tercatat sebanyak 1.121 jiwa (2024) yang masuk kategori miskin ekstrem.

Paradoks Kesejahteraan Masyarakat Bekasi

Sebagai kota metropolis, Bekasi justru menyimpan banyak luka, salah satunya dengan adanya ketimpangan struktural yang mengakar kuat di sana. Belum lama ini, Summarecon Bekasi memperkenalkan sebuah klaster supermewah bertajuk Ultra-Luxury Living in Nature’s Embrace. Soultan Island, begitu mereka menyebut klaster kebanggaan tersebut. Hunian yang dibanderol dari Rp9,3 miliar hingga Rp29,5 miliar tersebut laku keras sehingga mereka berhasil meraup total pendapatan mencapai Rp150 miliar pada soft launching (23/7) lalu.

Sayangnya, di balik kemewahan itu, sebagaimana data yang sudah disebutkan di atas, Bekasi masih harus bekerja keras menangani persoalan kawasan kumuh dengan jumlah ratusan hektare. Menyedihkannya lagi, kawasan kumuh tersebut sebagian besarnya merupakan kawasan yang menjadi pintu masuk dan daerah yang mengelilingi kompleks Summarecon Bekasi. Berdasarkan data Disperkimtan dan laporan RP2KPKP, wilayah tersebut berada di Kecamatan Bekasi Timur, Medan Satria, dan Bekasi Utara.

Inilah paradoks kesejahteraan yang diimpikan masyarakat Bekasi. Kota modern yang menjadi tujuan kaum urban untuk menggantungkan harapan nyatanya hanya menyisakan luka. Dua dunia yang berbeda tinggal berdampingan secara spasial, tetapi kondisinya bak langit dan bumi. Sejahtera hanya bisa dimiliki oleh mereka, kaum yang berpunya, sedangkan sisanya harus hidup terpinggirkan dengan kondisi yang semakin memprihatinkan.

Akar Persoalan: Sistem Ekonomi Kapitalisme Sekuler

Paradoks semacam ini merupakan buah sistemik dari peraturan hidup yang bernapaskan kapitalisme sekuler. Ketika agama dikesampingkan dalam mengurusi urusan masyarakat, yang muncul adalah kebijakan-kebijakan yang tak akan menyentuh hak-hak mereka. Sebaliknya, semua kebijakan yang lahir justru mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi segelintir pihak. Maka tak heran kalau tujuan ekonomi dalam sistem ini hanyalah sebatas pertumbuhan ekonomi tanpa memandang adanya pemerataan kesejahteraan.

Hal inilah yang kemudian menjadikan keberhasilan mewujudkan kesejahteraan hanya dilihat dari indikator kuantitatif. Angka pertumbuhan, investasi, persentase kemiskinan dijadikan acuan untuk membuat program-program yang tak menyentuh sama sekali akar persoalannya, tanpa mempertimbangkan adanya distribusi kekayaan secara adil. Padahal angka-angka semacam inilah yang sering kali “menyembunyikan” ketimpangan struktural dalam realita.

Sistem yang mengagungkan kebebasan kepemilikan ini akhirnya memberikan akses yang begitu besar kepada korporasi untuk menguasai sumber harta, seperti penguasaan lahan, sumber daya alam, berbagai infrastruktur strategis, dan lain sebagainya. Sudahlah begitu, negara tak hadir dalam menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, malah sekadar menjadi fasilitator investasi semata. Rakyat dibiarkan begitu saja untuk menanggung beban kehidupan yang semakin sulit.

Munculnya berbagai program yang digadang-gadang telah menunjukkan arah perubahan tersebut juga nyatanya semu. Mekanisme pajak, subsidi terbatas, dan berbagai macam bantuan pada realitanya tak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat secara umum. Bukan karena semata-mata semua mekanisme itu belum sempurna dalam implementasinya, tetapi karena memang akar persoalannya bukanlah pada ketidaksempurnaan implementasi. Lebih dari itu, paradoks ini lahir ketika syariat Islam dipinggirkan.

Islam Realisasikan Kesejahteraan: Bukan Sekadar Data

Islam adalah din yang sempurna. Islam memiliki mekanisme sempurna dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Segaris dengan apa yang telah disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, negara memiliki peran langsung untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw.: “Imam (khalifah) adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari-Muslim).

Maka negara akan mengurus urusan rakyat menggunakan syariat Allah yang mulia. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga: kepemilikan individu, umum, dan negara. Oleh karenanya, privatisasi kepemilikan umum seperti air, listrik, sumber daya alam, bahkan lahan dalam jumlah yang sangat luas yang berbahaya bagi kepentingan rakyat secara umum, haram hukumnya. Harta yang masuk dalam kategori ini harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat.

Sementara itu, sistem ekonomi Islam memiliki tujuan untuk mendistribusikan harta secara adil agar setiap individu mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, bukan sekadar pertumbuhan (growth) semata. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Hasyr: 7: “… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Dengan mekanisme Baitulmal dan pos-pos anggaran syar’i: zakat, fai’, kharaj, jizyah, dan lain-lain, negara berkewajiban menjamin pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap warga.

Hal ini sudah dibuktikan sepanjang sejarah peradaban Islam sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan para khalifah setelahnya. Islam mampu merealisasikan kesejahteraan dengan sangat gemilang. Puncaknya berada pada masa kejayaan Kekhilafahan Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa itu hampir tidak ditemukan mustahiq zakat. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat dalam keadaan yang berkecukupan.

Tidak ada yang bisa kita harapkan dari sistem ekonomi kapitalistik jahiliah. Ia hanya akan membawa kesengsaraan di balik paradoks kesejahteraan yang dibanggakan. Allah telah menjanjikan bagi siapa saja yang bertakwa maka baginya jalan keluar dan rezeki yang tak disangka-sangka. Ketakwaan itu hanya benar-benar bisa direalisasikan dengan menerapkan syariat Allah secara sempurna dalam bingkai khilafah.

Allah Swt. berfirman: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (QS. Ath-Thalāq: 2–3)

Illustration by Google

__________________

Disclaimer: POROSNARASI.COM adalah wadah untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua penulis bertanggung jawab penuh atas isi dari tulisan yang dibuat dan dipublished di POROSNARASI.COM. Penulis dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum Syara’ dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: